Dari Imajinasi ke Aksi Transformasi Kehumasan yang Demokratis
|
Suatu pagi dimulai dengan ritual sederhana: menyeduh secangkir kopi. Aroma khasnya perlahan memenuhi ruangan, seolah membangunkan bukan hanya tubuh, tapi juga pikiran yang masih setengah terjaga. Suara gemericik air panas yang bertemu dengan bubuk kopi menciptakan irama tenang, memberi ruang bagi diri untuk bersiap menghadapi hari. Dalam tiap tegukan pertama, ada kehangatan yang meresap, menghadirkan jeda sejenak sebelum rutinitas mengambil alih. Ya, kopi bukan sekadar minuman, tapi teman setia yang menemani momen-momen hening, memberi energi, dan kadang mengantar inspirasi di sela hiruk-pikuk kehidupan. Begitulah pagi dimulai—dengan sederhana, hangat, dan penuh harapan.
Secangkir Kopi, Selembar Rencana: Merangkai Pagi dengan Cita dan Cita-cita sambil membaca teks dalam buku yang berisi teori-teori tentang apa itu hubungan masyarakat atau humas. Pikiran makin fokus tentang bagaimana seharusnya nomina ini menjadi kata sifat yang melekat sebagai bagian dari mekanisme komunikasi yang efektif antara publik dan pesan yang menjadi domainnya dalam konteks tersebut.
Pada pagi itu pula, sayapun menyadari bahwa sekedar menjalani teori dalam kehumasan mempunyai ratusan bahkan ribuan realitas alternatif ketika berbicara soal implikasinya. Respon dari pandangan yang majemuk dan tidak kolektif seringkali bercabang dan mirip dengan garis waktu realitas dalam film-film scien-fiction ala Hollywood.
Kehumasan atau Public Relation menjadi sangat populer dalam konteks yang lebih ilmiah dimulai ketika pada tahun 1906, belajar dari seorang jurnalis Amerika Serikat bernama Ivy Ledbetter Lee atau akrab dikenal Ivy Lee sanggup membendung pemogokan besar-besaran para buruh dalam peristiwa krisis batu bara. Ivy dikenal sebagai salah seorang pelopor kehumasan profesional sebab dalam praktiknya ia telah mengenalkan prinsip kehumasan modern yang melibatkan komitmen jurnalistik berintegritas yang tidak menyembunyikan data dan fakta. Lebih muda dari Ivy, kemudian kita mengenal Edward Bernays, yang pada tahun 1928 menerbitkan bukunya yang termashyur berjudul “Propaganda”. Ia sebagai orang yang paham betul bagaimana peran sentral psikologi massa dan narasi yang dikombinasikan dalam sebuah upaya yang disebut sebagai “Rekayasa Persetujuan” justru sukses mempengaruhi Joseph Goebbels Menteri Propaganda Jerman pada kepemimpinan diktator Adolf Hitler untuk menciptakan “Kultus Fuhrer” yang mengafirmasi kejahatan perang dan tragedi kemanusiaan paling parah pada abad ke-20.
Dari pemikiran dua orang pelopor kehumasan dunia ini, bangun pagi yang seharusnya saya gunakan untuk mempelajari teori-teori komunikasi massal berubah menjadi perenungan yang mendalam tentang bagaimana fungsi kehumasan telah menjadi bagian dari wajah peradaban pada masa ke masa. Melewati kelindan mekanisme yang rumit dengan pelibatan demografi yang absurd pun, dapat membuat sebuah pesan menjadi pemahaman kolektif yang mampu mengarahkan publik untuk menyatakan sikap dan melakukan tindakan.
Seperti apa yang dapat saya simpulkan dari teori kedua tokoh tersebut, bahwa pengertian kehumasan dapat disederhanakan menjadi tiga bagian yaitu, Providing Clue/Information, Direct Persuasion, dan Integration Activities. Tiga bagian ini menjadi sebuah mekanisme yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya. Providing Clue/Information adalah bagian dari ide awal untuk mencapai rekayasa persetujuan. Artinya, pesan yang ingin disampaikan kemudian harus dibelah menjadi beberapa informasi. Sebuah kata, secara linguistik mampu diterjemahkan menjadi jutaan kemungkinan makna. Jika tidak percaya, uji teori ini dengan memberikan kata Indonesia kepada sepuluh orang yang berbeda latar belakangnya, maka kira-kira kita akan mendapat kurang dari seratus konteks yang semantik-nya beragam. Ini penting untuk menjadi pondasi awal menentukan luasan pesan dan dimensi dampak yang diinginkan.
Kemudian yang kedua, Direct Persuasion atau pembujukan secara langsung kepada publik. Dalam konteks ini kita tentu perlu berdiri pada wilayah intelektual untuk mengartikan pembujukan yang dimaksud. Membujuk atau merayu pada bagian ini disebut ajakan kepada publik untuk menyimak dan memperhatikan informasi atau petunjuk yang telah diolah—kelola pada tahapan providing clue/information.
Berlanjut kemudian pada Integration Activities atau upaya untuk mengoptimalkan implikasi melalui aktivitas yang terintegrasi dengan pesan yang ingin disampaikan. Apa saja aktivitas itu, tentu perlu merujuk pada kebutuhan untuk menggarisbawahi pesan dalam setiap kegiatannya. Ketiga bagian itu tadi kemudian menjadi langkah per langkah paling relevan ketika bicara soal bagaimana kehumasan mengambil peran sebagai wilayah informasi, afirmasi, konfirmasi dan klarifikasi sekaligus. Sampai disini, seolah suatu pagi hari kita itu tidaklah menjadi sederhana pada akhirnya.
Membangun Citra, Menata Hati: Harmoni Kehumasan dan Kehidupan
Memilih divisi humas menurut saya adalah salah satu bentuk pengabdian untuk bangsa ini. Bagaimana tidak, membangun kehumasan yang efektif tidak bisa dilepaskan dari upaya membangun citra kelembagaan, termasuk bagi lembaga tempat saya berkerja yakni Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Sebagai lembaga yang bertugas menjaga integritas dan transparansi pemilu, Bawaslu perlu memastikan bahwa citra yang tercermin di mata publik adalah lembaga yang profesional, independen, dan terpercaya. Kehumasan berperan penting dalam menyampaikan informasi secara akurat, cepat, dan mudah dipahami, sekaligus membangun komunikasi dua arah dengan masyarakat. Melalui strategi komunikasi yang terencana, baik melalui media massa, media sosial, maupun kegiatan langsung di masyarakat sehingga Bawaslu dapat memperkuat kepercayaan publik, mengedukasi tentang pentingnya pengawasan pemilu, serta membangun citra sebagai lembaga yang responsif terhadap kritik dan masukan. Maka dengan citra kelembagaan yang kuat, Bawaslu tidak hanya menjadi pengawas pemilu, tetapi juga simbol komitmen terhadap demokrasi yang jujur dan adil.
Apakah hanya sekedar citra semata? Apa yang ingin dan akan dicapai? Tentunya kualitas demokrasi negara ini.
Demokrasi,
Coba kita gali bersama, memori apa yang membentuk karakter kita hari ini. Maka saya mengartikan sebuah kata yang secara semantik ditafsirkan beragam oleh publik hari ini; demokrasi. Umur saya tujuh tahun saat pertama kali Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang jauh lebih demokratis ketimbang jaman Orde Baru. Itu tahun 1999 dan tercatat sebagai pesta demokrasi yang melibatkan ratusan partai politik dan partisipasi rakyat yang absolut tanpa pandangan hegemoni praktis. Ada 141 partai politik yang mendaftar di KPU dan yang lolos verifikasi berjumlah 48 partai. Pemilih adalah seluruh rakyat Indonesia yang dicatat sebagai DPT (Daftar Pemilih Tetap). Penyelenggaranya ada dua saat itu, Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawas Pemilu atau Panwaslu yang bersifat ad hoc dan belakangan kemudian publik mengenalnya sebagai Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu yang resmi dibentuk sebagai lembaga tetap pada tahun 2008 dan berfungsi untuk mengawasi seluruh tahapan pemilu. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011, Bawaslu semakin diperkuat sebagai lembaga yang bersifat tetap dengan tugas lebih luas, termasuk menangani sengketa proses pemilu. Perubahan signifikan lainnya terjadi pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk menangani pelanggaran pemilu, baik administratif, pidana, maupun etik. Kini, Bawaslu memiliki struktur di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga pengawas di kecamatan, desa, dan TPS. Hal ini bertujuan untuk memastikan pemilu yang lebih jujur, adil, dan demokratis sampai ke dimensi tingkatan yang paling kecil sekalipun.
Informasi tersebut bagi saya mengakar sebagai fase historis yang terkunci sebagai pemahaman yang absolut untuk bertindak ketika pada akhirnya hampir tiga dekade kemudian, saya terlibat aktif menjadi bagian dari penyelenggara pemilu. Mulai dari perjalanan sebagai Panitia Pengawas Kecamatan, Panitia Pemilihan Kecamatan sampai menjadi Komisioner Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Jember dan menjalankan amanah pada Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat. Pada momen itulah saya menyadari bahwa peran sentral komunikasi publik yang efektif dan inovatif menjadi bagian dari prioritas utama untuk menjembatani lembaga Bawaslu dan masyarakat yang merupakan peserta dan juga pemilih dalam pemilu.
Memulai Tugas,
Pagi berlalu, teori sudah menjadi pemahaman dan kini melanjutkan babak untuk menjalankan tugas. Memulai tugas ibarat menapaki fajar yang masih berembun. Langkah pertama mungkin terasa berat, tapi setiap jejak yang tertinggal adalah bukti bahwa perjalanan telah dimulai. Berorientasi pada frasa tentang kehumasan, demokrasi dan peran divisi humas, membawa kesimpulan bahwa ada tanggung jawab besar yang dimiliki untuk memastikan demokrasi berjalan dengan semestinya. Bagi saya, menjaga pemilu bukan hanya soal pengawasan aturan, tetapi juga membangun keterlibatan masyarakat sebagai bagian aktif dari proses demokrasi. Sejak awal, saya percaya bahwa demokrasi bukan hanya milik lembaga seperti Bawaslu atau KPU, tetapi juga milik setiap individu. Prinsip yang kemudian ditekankan dalam lembaga adalah demokrasi akan sehat jika semua pihak merasa memiliki. Prinsip ini pula yang saya tegaskan sebelum mulai menggagas berbagai inovasi. Saya yakin, menjaga pemilu yang damai membutuhkan pendekatan yang melibatkan banyak pihak, termasuk media dan kelompok masyarakat.
Dalam divisi yang saya jalankan, prinsip kehumasan modern menjadi kunci dari bagaimana langkah-langkah yang akan disusun mampu mendapatkan kepercayaan publik terhadap Bawaslu sebagai lembaga yang besar dan masih mendapat stigma sebagai pelengkap penyelenggara saja. Sebagaimana yang menjadi bagian dari tahap Providing Clue/Information, apa yang mula kami lakukan adalah membelah premise atau ide awal sebagai pesan yang akan tersampaikan kepada publik.
Saya menyusun tabel demografi internal yang berisi data poin yang merepresentasikan fungsi pencegahan pelanggaran pemilu mulai dari politik uang, netralitas, politisasi SARA dan Hoax, serta banyak lagi data poin yang terangkum di dalamnya. Lalu untuk data poin partisipasi masyarakat, tabel diisi dengan kata kunci yang terkait seperti demokrasi, indeks kepuasan dan sebagainya. Begitu dengan data poin untuk merepresentasikan kehumasan yang berisi tentang fungsi kehumasan mulai dari fungsi informasi, persuasi, hubungan, manajemen krisis, adaptasi dan evaluasi serta sosial dan etika. Data poin tersebut kemudian dikombinasikan satu dengan yang lain menjadi bahan mentah berupa asumsi subjektif untuk kemudian dikomparasikan menjadi respon emosional yang melibatkan media dan kelompok masyarakat yang menghasilkan bentuk abstrak berupa pesan apa yang perlu disampaikan dan bagaimana cara menyampaikannya kepada publik. Itulah kemampuan komunikasi massa dan retorika menjadi sangat penting. Selanjutnya pada tahap Direct Persuasion atau pembujukan secara langsung. Pada tahap ini, pesan yang ingin disampaikan atas Bawaslu disajikan dalam narasi-narasi yang berkaitan satu dengan lainnya. Baru kemudian berlanjut pada tahapan Integration Actvities atau aktivitas terintegrasi yang diwujudkan dalam kegiatan dan aksi.
Ya, menjalani fungsi kehumasan, kita harus memiliki target yang jelas. Yakni kepercayaan publik terhadap lembaga dan manajemen krisis yang baik dalam menghadapi segala situasi apapun. Saat tahapan pemilu maupun pilkada berlangsung maka penting memaksimalkan managing issue yakni proses strategis dalam mengidentifikasi, memantau, dan merespons isu-isu yang berpotensi memengaruhi reputasi, operasional, atau keberlanjutan lembaga. Dalam konteks kehumasan, manajemen isu ini bertujuan untuk mengantisipasi dan mengelola situasi sebelum berkembang menjadi krisis, dengan langkah-langkah proaktif seperti pengumpulan informasi, analisis risiko, serta perencanaan komunikasi yang efektif dan peluncuran rilis. Tidak cukup dengan itu saja, bahwa pengelolaan hubungan dengan media serta meningkatkan peran masyarakat dalam jalannya proses pengawasan atau pemberian informasi awal dugaan pelanggaran pemilu juga menjadi hal yang substantif.
Menyusun Grand Desain Kehumasan Bawaslu dan Program Kerja
Apa yang dilakukan kehumasan Bawaslu saat tahapan pemilu maupun pemilihan berlangsung maupun non tahapan? Grand desain kehumasan Bawaslu bukan hanya untuk membangun dan memperkuat citra kelembagaan, namun desain ini perlu dirancang untuk memastikan komunikasi yang efektif, transparan, dan partisipatif antara Bawaslu dengan masyarakat, media, serta pemangku kepentingan lainnya.
Menyusun program kerja ibarat menenun kain dari benang-benang visi dan aksi. Setiap helai gagasan dirajut dengan ketelitian, setiap simpul rencana dipadukan dengan harapan. Ia bukan sekadar susunan kata di atas kertas, tetapi peta jalan menuju perubahan yang nyata.
Pada saat tahapan pemilu maupun pemilihan berlangsung, banyak sekali tantangan yang dihadapi. Apalagi di era digital saat ini sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan.
Grand desain untuk menjawab tantangan itu, apa yang menjadi targetnya?
Saya berpikir tentang angka kepercayaan publik yang ideal untuk dapat dicapai lembaga Bawaslu, perangkat apa yang bisa digunakan untuk mengukur hal itu, bagaimana kerawanan pemilu dan pemilihan dapat disadari oleh masyarakat hingga dapat menekan angka pelanggaran pemilu. Maka program kerja yang disusun harus berdasarkan kondisi situasi masyarakat kita saat ini. khususnya di Kabupaten Jember.
Pertama, memahami segmentasi masyarakat apa saja yang perlu diedukasi. Di Kabupaten Jember dari data Bakesbangpol terdapat sejumlah 129 organisasi masyarakat yang terdaftar. Untuk segmentasi pemilih dari DPT tahun 2024 Pemilu, yakni 974.767 pemilih laki-laki, 997.449 pemilih perempuan. Sedangkan DPT tahun 2024 untuk pemilihan, yakni 965.055 pemilih laki-laki, 990.164 pemilih perempuan, 403.089 pemilih pemula.
Maka ada gambaran produk kehumasan seperti apa yang akan dibuat untuk dapat meningkatkan literasi kepemiluan masyarakat, serta kelompok masyarakat mana saja yang dominan untuk bisa dilakukan kerjasama dalam melakukan pengawasan partisipatif.
Sampai di tataran kecamatan pun, Panwascam juga melakukan pendataan organisasi masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama maupun tokoh masyarakat di wilayah masing-masing agar produk kehumasan yang disampaikan menggunakan kearifan lokal dan tepat sasaran. Saya mencoba membuat program kerja mengacu pada data segmentasi tersebut dan dirancang untuk jangka waktu tahunan, semester, bulanan, maupun icidentil.
Program kerja itu dibagi menjadi program kerja internal dan eksternal, memiliki fokus dan tujuan yang berbeda, tetapi saling mendukung dalam membangun citra dan komunikasi lembaga. Program internal kelembagaan berarti fokus pada peningkatan kapasitas kehumasan dalam pembuatan konten kepemiluan, penguatan komunikasi publik, optimalisasi media sosial dan pemberitaan, pembuatan kalender konten kepemiluan sebagai upaya manajemen publikasi, membuat posko aduan masyarakat dengan Bawaslu Crisis Center, melakukan pendataan secara berkala terhadap akun media sosial stakeholder, organisasi/parpol maupun media massa untuk pengawasan cyber, serta membuat SOP penerimaan informasi awal masyarakat dan peningkatan layanan informasi. Sedangkan program eksternal kelembagaan yakni lebih kepada pengelolaan hubungan media massa, akses informasi dan kampanye sadar pemilu & demokrasi. Menjalin hubungan yang baik dengan stakeholder maupun media ibarat menanam pohon di tanah subur. Setiap komunikasi yang terjalin adalah akar yang menguatkan, setiap kerja sama adalah daun yang menangkap cahaya, dan setiap kepercayaan yang terbangun adalah air yang memberi kehidupan. Dalam alunan waktu, hubungan ini tumbuh, bersemi, dan berbuah, memberi manfaat bagi semua yang berteduh di bawahnya. Dengan adanya Program “Bawaslu Menyapa” kehangatan dialog dan kejujuran kata terus digaungkan. Tidak sekadar membangun jaringan, tetapi juga menciptakan kekritisan yang bermakna, memberikan ruang sinergi kolaborasi, memecahkan permasalahan serta menyiapkan langkah mitigasi bersama. Begitu juga MoU dan hubungan komunikasi di grup WhatssApp yang terus dibangun dengan stakeholder maupun organisasi profesi media seperti AJI, IJTI, PWI, FWLM maupun non organisasi profesi media. Dalam hal ini Bawaslu Kabupaten Jember hampir tidak pernah absen berpartisipasi dalam acara edukasi kepemiluan yang dibuat oleh media dan membuat kolaborasi acara bersama (online maupun offline), karena komunikasi non formal juga tetap dijaga dengan rutin melakukan kunjungan ke organisasi profesi media dan media-media, olahraga bersama hingga melakukan Konferensi Pers pada tahapan yang rawan disinformasi terutama pada perkembangan penanganan pelanggaran. Bawaslu juga berupaya menggandeng influencer untuk menjadi model dalam Iklan Layanan Masyarakat serta melakukan kolaborasi dalam post feed instagram. Poin itu semua tak lepas dari managing issue dan jadwal release advetorial di media cetak maupun elektronik secara berkala berdasarkan isu krusial yang ada. Dari sinilah Bawaslu menemukan modelling pemberitaan/publikasi yang menyesuaikan dengan minat masyarakat. Segala bentuk pencegahan (imbauan), rekapitulasi jumlah pencegahan, penanganan pelanggaran selalu dipublikasikan. Hal ini sebagai komitmen terhadap keterbukaan informasi publik, pentingnya menyajikan data namun bukan informasi yang dikecualikan yang akan memantik interaksi & kepercayaan masyarakat.
Bagaimana hasilnya? Secara ringkas saya kemudian mencoba mengambil satu sampel kasus aksi massa, dimana sejumlah kelompok masyarakat merespon apa yang kami lakukan dengan datang ke kantor sembari membentangkan banner yang berisi dukungan dan apresiasi atas kinerja Bawaslu serta memberikan bunga kepada kami. Peristiwa ini menegaskan pesan dari apa ingin kami proyeksikan sebagai lembaga pengawas demokrasi damai berhasil mendapat respon positif dari publik.
Warga saat memberikan bunga kepada Kordiv Pencegahan, Parmas & Humas Bawaslu Kabupaten Jember sebagai apresiasi atas kinerja Bawaslu.
Ketua Bawaslu Kabupaten Jember saat menyambut baik aksi massa yang menyampaikan aspirasi.
Media Sebagai Mitra Strategis,
Media adalah jembatan cahaya yang menghubungkan pesan dengan dunia, laksana angin yang membawa harum bunga ke penjuru semesta. Sebagai mitra strategis, ia bukan sekadar penyampai kabar, tetapi juga penggenggam narasi, penjaga citra, dan penyalur makna.
Dalam harmoni kerja sama, media menjadi cermin yang memantulkan kebenaran, sekaligus layar yang menampilkan kisah dengan utuh. Dengan pena dan suara, ia menenun benang komunikasi, merajut kepercayaan, dan membangun jejak yang abadi dalam alur perjalanan sebuah nama. Mengapa kemudian peran media menjadi salah satu yang paling krusial dalam mekanisme kehumasan di Bawaslu Kabupaten Jember? Mediamenyampaikan pesan-pesan kami kepada masyarakat. Bersama tim, saya mengundang media cetak, radio, hingga platform digital untuk selalu berdiskusi pada media gathering. Kami tidak hanya ingin menyampaikan press release, tetapi juga mencari cara agar pesan damai kami lebih mudah diterima masyarakat.
Hasilnya, berbagai program kreatif dan kolaboratif mulai muncul. Pertama yakni Bawaslu Jember News yang merupakan program hasil kolaborasi antara Bawaslu Kabupaten Jember dengan Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Tapal Kuda melibatkan TV Lokal Jember dan News Presenter yang menyematkan pesan-pesan edukatif sesuai dengan keinginan lembaga kami: Bawaslu Jember News, portal kabar dan informasi pengawasan pemilu dalam jaringan. Bersama rakyat mengawal demokrasi untuk Indonesia bermartabat.
Kedua yakni Podcast Wawasan Pemilu dalam pojok pengawasan Bawaslu Kabupaten Jember, Podwaslu: Bersua berbagi kisah, bertukar informasi dan bersama ikut mengawasi. Podcast ini menghadirkan tokoh masyarakat dan melibatkan kader pengawas partisipatif yang sudah dididik dalam sekolah kader pengawas partisipatif untuk sharing terkait tantangan pemilu, peran aktif masyarakat serta mewujudkan pemilu yang inklusif.
Adapun talkshow interaktif, kampanye media sosial, hingga artikel opini tentang pentingnya menjaga pilkada damai menjadi bagian dari upaya kami.
Media bukan hanya penyampai berita, tetapi juga mitra kami dalam mendidik masyarakat. Sehingga menjalin hubungan yang baik dengan adanya kerjasama telah kami lakukan dengan organisasi profesi media dan sejumlah media, yaitu PWI Jember, IJTI Tapal Kuda, FWLM, Soka Radio, Radar Jember, Kiss FM dan Prosalina.
Salah satu momen yang tak terlupakan adalah saat kami mengadakan diskusi terbuka dengan beberapa jurnalis dan mediagram Jember. Mereka memberikan perspektif segar tentang bagaimana pesan-pesan damai bisa dikemas dengan cara yang lebih menarik. Ide-ide mereka seperti membuat serial tentang kisah sukses pemilu damai atau memanfaatkan video pendek di platform populer seperti Instagram dan TikTok sangat menginspirasi.
Menjaga pola relasi antara Bawaslu dengan media sangat penting dilakukan secara terus menerus untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik pada saat tahapan pemilu maupun non tahapan. Mengacu pada SK Pengelolaan Hubungan Media Massa di lingkungan Bawaslu Nomor 0090/HK.01/K1/03/2022, kami berupaya memaksimalkan fasilitas media center dan melakukan media briefing dalam upaya menyampaikan kebijakan khusus kepada media.
Merangkul Masyarakat, Menjalin Relasi, Menguatkan Empati
Bagi saya, media dan masyarakat adalah kunci utama demokrasi. Media dan masyarakat memiliki hubungan yang erat dan saling memengaruhi. Media berperan sebagai Cerminan dan Pembentuk Opini Publik, sementara masyarakat menjadi konsumen sekaligus produsen konten media. Oleh karena itu, kami melibatkan komunitas lokal dalam berbagai program. Kami menggelar simulasi pengawasan dan kami ajak komunitas untuk membuat konten kepemiluan untuk bisa disosialisasikan di komunitas masing-masing, bahkan melalui kegiatan seni budaya untuk mendekatkan masyarakat dengan proses demokrasi.
Saya masih ingat ketika saya bertemu Pak Suparno, seorang petani dari Kecamatan Kalisat yang berkata, “Dulu saya hanya tahu pemilu itu datang, pilih, lalu pulang. Tapi sekarang saya paham kalau saya juga harus ikut mengawasi.” Mendengar kata-kata seperti itu membuat saya merasa semua kerja keras ini terbayar. Pak Suparno merupakan salah seorang warga yang diedukasi melalui forum warga pengawasan partisipatif.
Dalam perjalanan ada banyak cerita inspiratif lainnya. Seorang ibu rumah tangga di Kecamatan Patrang misalnya, mengorganisir kelompok ibu-ibu untuk aktif mengedukasi lingkungan mereka tentang bahaya politik uang dan setiap senam rutin juga melakukan Senam Cegah Awas Tindak yang kami ciptakan. Sementara itu, kelompok pemuda di Kecamatan Sukorambi mulai aktif membuat poster kreatif yang mengkampanyekan pemilu damai.
Kampanye Digital untuk Generasi Muda,
Kampanye digital bagi generasi muda adalah nyala obor di tengah samudra informasi, cahaya yang menuntun arah dalam riuhnya dunia maya. Dengan jari-jari yang menari di atas layar, mereka bukan sekadar pengikut arus, tetapi pengukir jejak, penyampai suara, dan pembawa perubahan.
Setiap unggahan adalah titian makna, setiap pesan adalah benih kesadaran. Dalam derasnya gelombang teknologi, mereka menanam gagasan, menyebar inspirasi, dan merajut masa depan dengan narasi yang menggugah. Karena di tangan mereka, dunia digital bukan sekadar ruang, melainkan panggung bagi lahirnya perubahan.
Menjadi penting untuk tahu bahwa media sosial adalah platform yang harus dimanfaatkan hari ini. Dengan tagar tertentu, kami membuat konten kreatif seperti menciptakan Lagu “Pilkada Untuk Kita”, Lagu Cegah Awas Tindak beserta koreografinya, video pendek, infografis, dan meme edukatif. Semua ini dirancang untuk berbicara dalam bahasa anak muda. Memberikan pemahaman dan campaign dengan cara yang berbeda.
Selain itu, kami juga mengadakan webinar dan lokakarya daring untuk mengedukasi generasi muda tentang pentingnya partisipasi aktif dalam pengawasan pemilu. Salah satu webinar yang paling menarik adalah sesi yang melibatkan influencer lokal. Mereka berbagi pengalaman tentang bagaimana media sosial dapat digunakan sebagai alat untuk menyuarakan pesan damai, meminimalisir hoax dan kampanye #SadarPemilu #PatroliPengawasanDigital.
Kolaborasi dengan Pemangku Kepentingan
Kolaborasi dengan pemangku kepentingan adalah simfoni yang dimainkan dalam harmoni bersama. Seperti aliran sungai yang menyatu dengan lautan, setiap langkah yang selaras menciptakan arus perubahan yang mengalir kuat dan tak terbendung. Dengan kepercayaan sebagai jembatan dan komunikasi sebagai cahaya, merajut benang kerja sama, membangun jalinan yang tak hanya menguntungkan, tetapi juga bermakna. Sebab dalam kebersamaan, setiap visi menemukan jalannya, setiap tujuan menemukan pijakannya, dan setiap harapan menjelma menjadi nyata.
Saya menyadari bahwa menjaga pemilu maupun pilkada damai bukan tugas yang bisa dilakukan sendirian. Oleh karena itu, kami aktif menjalin kolaborasi dengan pemerintah daerah, aparat keamanan, tokoh agama, tokoh pemuda dan tokoh adat. Salah satu momen yang paling berkesan bagi saya adalah “Deklarasi Pemilu Damai”, dimana semua pihak yakni partai politik, tim sukses dan elemen masyarakat berkumpul untuk menyatakan komitmen bersama menjaga kedamaian. Acara ini bukan hanya sekedar simbolis, tetapi juga menjadi pengingat bahwa demokrasi adalah tanggung jawab bersama. Saya merasa bangga melihat semua pihak bisa bersatu demi tujuan yang sama.
Selain deklarasi pemilu damai, kami juga berkolaborasi dengan media saat peningkatan kapasitas kehumasan bagi jajaran adhoc. Dalam kegiatan ini, Panwascam beserta staf diajarkan tentang pembuatan produk kehumasan yang berkualitas. Contohnya konten terkait mendeteksi pelanggaran, pemberian informasi awal dan melaporkan temuan dengan benar. Saya percaya, semua pihak adalah ujung tombak dalam pengawasan pemilu yang transparan.
Jejak Abadi: Mengukir Sejarah dalam Kehumasan
Seperti ukiran di batu yang tak mudah terhapus oleh arus zaman, kehumasan meninggalkan warisan dalam setiap interaksi, membentuk narasi yang hidup di benak banyak orang. Dalam kehangatan dialog dan ketulusan komunikasi, lahirlah jejak abadi dan cahaya yang menerangi jalan bagi generasi mendatang.
Perjalanan ini belum selesai, tetapi saya bersyukur melihat perubahan yang mulai terjadi. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya demokrasi damai semakin meningkat. Angka statistik yang menandai naik turunnya jumlah pelanggaran atau tingkat partisipasi masyarakat barangkali bisa menjadi indikator seberapa jauh demokrasi sudah tumbuh dalam 26 tahun ke belakang. Saat kami melakukan tinjauan media secara berkala, betapa terkejutnya kami bahwa pemberitaan tentang Bawaslu Kabupaten Jember melampaui apa yang menjadi target pemberitaan. Dalam setahun terakhir terdapat 707 pemberitaan tentang Bawaslu Kabupaten Jember sehingga kami pun memberikan apresiasi untuk media yang aktif dan komunikatif.
Demokrasi yang damai bukanlah mimpi, tetapi sesuatu yang bisa kita wujudkan bersama.
Saya percaya, dengan kerja keras dan kolaborasi, Jember dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain. Terbukti Bawaslu Kabupaten Jember mendapatkan Apresiasi Kehumasan Terbaik Tingkat Kabupaten/Kota se-Indonesia oleh Bawaslu RI pada tahun 2024.
Apa yang kami lakukan di Jember mungkin sederhana, tetapi saya berharap ini bisa menjadi inspirasi bagi pihak lain. Demokrasi adalah tanggung jawab kita semua. Saya ingin langkah-langkah kecil yang kami mulai ini dapat diteruskan oleh generasi berikutnya. Dengan pendekatan yang berbasis kolaborasi, inklusi, dan kreativitas, kita bisa menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan damai. Jember adalah bukti bahwa dengan kerja keras dan komitmen, kita bisa menjaga harapan akan masa depan demokrasi yang lebih baik.
Kordiv Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Kabupaten Jember (Wiwin Riza Kurnia) saat menerima Sertifikat “Apresiasi Kehumasan Terbaik Tingkat Kabupaten/Kota se-Indonesia”
Pada Akhirnya,
Terwujudnya Gagasan Imajinasi Kolektif Kehumasan yang Demokratis
Pada pagi yang begitu cerah, kembali kita terbangun dari sisa-sisa perenungan tentang bagaimana sebuah pesan bisa disampaikan menjadi pemahaman kolektif yang berorientasi pada kepercayaan publik. Imajinasi kolektif kehumasan yang demokratis tentang gagasan bersama tentang bagaimana komunikasi publik dijalankan secara terbuka, inklusif, dan partisipatif, sehingga semua suara memiliki ruang untuk didengar dan memengaruhi kebijakan atau keputusan yang diambil. Dalam konteks ini, kehumasan bukan hanya alat untuk menyebarkan informasi dari atas ke bawah (top-down), tetapi menjadi jembatan dialog antara lembaga dan masyarakat, yang mendorong keterlibatan aktif publik dalam proses demokrasi. Terwujudnya dapat dilihat pada elemen kunci yakni transparansi, partisipasi publik, serta kesetaraan akses informasi.
Kemudian saya menggarisbawahi bahwa fungsi kehumasan yang telah dijalankan oleh Bawaslu Kabupaten Jember sebagai lembaga sekaligus rumah bagi perjalanan karir seorang yang menjadi bagian dari sebuah cita-cita besar bangsa dan negara demokrasi.
Kehumasan juga bertindak sebagai sistem adaptif yang menyesuaikan strategi komunikasi berdasarkan pada dinamika melalui riset serta evaluasi opini publik.
Apakah penting kemudian kehumasan menjadi yang paling berperan dalam keberhasilan Bawaslu Jember sebagai lembaga yang terintegrasi dengan kebijakan pusat dan regional untuk menjalankan tugas dan amanah utamanya yakni mengawasi jalannya pemilu? Saya rasa bukan pada pemahaman divisi mana yang lebih berperan. Fungsi kehumasan dan tiga tahapan yang menjadi penentu bagaimana tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga ini dapat terus dibangun justru tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya sistem kerja dari divisi-divisi yang lainnya. Seperti berkesinambungan, bahwa setiap dinamika yang terjadi selama masa pemilu justru menjadi data poin-data poin yang terus menerus ditransmisikan sebagai bahan mentah dalam demografi internal.
Saya mungkin dapat menganalogikan frasa berjejak namun tak nampak sebagai bagian dari misi besar kehumasan di lembaga ini. Bagi sebagian pihak, divisi kehumasan mungkin dinilai sebagai wajah dari sebuah lembaga, namun terlepas dari itu, bahwa penyematan pesan terhadap publik adalah yang paling utama menjadi tujuannya. Apa yang mungkin terlihat sebagai publisitas adalah sebagian dari tugas pencitraan yang positif, tapi bagaimana divisi kami terus berinteraksi dengan respon masyarakat yang dinamis atas suatu peristiwa adalah bentuk abstrak tugas yang tidak seluruhnya bisa ditampilkan sebagai wajah untuk publik.
Seperti apa yang sudah ditulis di awal, bahwa menjalani teori kehumasan modern dengan segala prinsip dan mekanismenya mungkin tampak semudah membaca teks dalam bukunya. Tapi bagaimana merespon pandangan dan sikap publik yang majemuk dan beragam justru menjadi tantangan yang paling besar bagi divisi kehumasan.
Pengalaman ini akan menjadi kenangan yang suatu hari nanti akan meretas menjadi sejarah perjalanan demokrasi di daerah. Saya dan seluruh tim di divisi kehumasan Bawaslu Kabupaten Jember akan merasa sangat beruntung menjadi bagian dari peristiwa besar ini. Persoalan bahwa demokrasi masih belum bisa berjalan sesuai harapan masyarakat atau bagaimana dampak dari para pemilih yang puas atau tidak puas atas hasil akhirnya, bukan menjadi indikator keberhasilan divisi kehumasan dalam menjalankan tugas dan fungsinya selama ini. Demokrasi, secara semantik telah melewati penilaian dari penafsiran yang beragam dan muskil untuk menjadi pemikiran yang kolektif.
Menjadi berbeda itulah yang menjadi esensinya, dan tugas Bawaslu memastikan bahwa perbedaan itu dapat diakomodir sepenuhnya dengan segenap konsekuensi dan risiko yang musti ditempuh dengan mendapatkan hasil dari tujuan dibentuknya lembaga ini dari awal, yakni menjaga dan mengawasi jalannya pemilu yang jujur, adil dan demokratis dengan damai.
BIOGRAFI PENULIS
WIWIN RIZA KURNIA, Lahir di Jember pada 8 Juni 1992. Menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga lulus sebagai alumni Politeknik Jember di kota kelahirannya sendiri. Perempuan yang akrab disapa Wiwin ini melanjutkan studinya pada Strata 2 Magister Manajemen di Universitas Muhammadiyah Jember.
Sejak muda, ia aktif di berbagai organisasi dan kegiatan jurnalistik. Semasa kuliah sempat menjabat sebagai Presiden Mahasiswa/Ketua Dewan Permusyawaratan Mahasiswa Politeknik Negeri Jember, Sekretaris Cabang GmnI Jember, dan Koordinator Wilayah Jawa Timur Aliansi Pers Mahasiswa Politeknik se-Indonesia (APMPI). Saat mahasiswa, perempuan yang hobi membaca ini juga merintis karir sebagai jurnalis di media cetak maupun televisi.
Perjalanan pada dunia jurnalistik terutama saat Wiwin terpilih menjadi Kontributor GmnI News Presidium. Kegemarannya dalam menulis maupun membaca mengantarkan Wiwin menjadi News Presenter salah satu stasiun televisi selama 7 tahun.
Terlibat dalam berbagai kegiatan sebagai aktivis pengembangan sumber daya manusia, ia mendirikan Sekolah Perempuan Jember yakni lembaga sosial yang konsen pada nilai-nilai kemanusiaan berbasis pendidikan dan pemberdayaan yang sudah 13 tahun eksis hingga saat ini. Ketertarikan pada bidang sosial politik semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kesadaran akan dinamika masyarakat, kebijakan publik, dan peran aktif individu dalam perubahan sosial. Sehingga di tahun 2019 ia memutuskan untuk berkarir menjadi penyelenggara pemilu. Pengalamannya yakni menjadi Panitia Pengawas Kecamatan dan Panitia Pemilihan Kecamatan sebelum dilantik menjadi Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Kabupaten Jember.
Foto dan Editor : Humas Bawaslu Kabupaten Jember
Penulis : WIwin Riza Kurnia