Mahasiswi UIN KHAS Jember Wawancarai Bawaslu, Bahas Kampanye Digital Influencer di Pemilu 2024
|
Jember – Pada Selasa, 20 Mei 2025 pukul 10.00 WIB, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Jember kembali menerima kunjungan dari mahasiswa Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember. Kali ini, kunjungan datang dari Nur Elmi Annisa Ramadani, mahasiswi Fakultas Syariah yang tengah menyusun skripsi berjudul “Analisis Yuridis atas Kampanye Digital Melalui Influencer TikTok Jannes_CS dalam Mempromosikan Calon Presiden pada Pemilu 2024.”
Wawancara akademik ini diterima langsung oleh Ibu Wiwin Riza Kurnia, Koordinator Divisi Pengawasan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu Jember. Diskusi berlangsung dengan penuh antusias dan keterbukaan, membahas pergeseran metode kampanye politik di era digital, terutama melalui platform seperti TikTok yang kini banyak digunakan oleh kalangan muda.
Dalam pemaparannya, Bu Wiwin menjelaskan bahwa kampanye digital melalui media sosial merupakan bagian dari dinamika demokrasi modern. Namun, pelaksanaannya tetap harus tunduk pada regulasi yang berlaku, termasuk aturan dalam Undang-Undang Pemilu, Peraturan KPU, dan Perbawaslu yang mengatur batasan serta larangan kampanye.
“Influencer bisa jadi bagian dari kampanye, tapi tetap harus jelas statusnya. Apakah dia sukarela, dibayar, atau merupakan bagian dari tim kampanye resmi. Kalau tidak jelas, bisa melanggar aturan, apalagi jika dilakukan di luar jadwal kampanye,” jelas Bu Wiwin.
Nur Elmi mengangkat kasus Jannes_CS, seorang kreator TikTok yang sempat ramai dibicarakan karena kontennya yang dinilai menguntungkan salah satu pasangan calon presiden. Ia menanyakan bagaimana Bawaslu menilai aktivitas seperti itu dari sudut pandang hukum pemilu.
Bu Wiwin menanggapi dengan menekankan pentingnya pendekatan konteks dan bukti dalam setiap penilaian pelanggaran. Ia menjelaskan bahwa pengawasan kampanye digital memiliki tantangan tersendiri karena sifat kontennya yang cepat viral, sulit dilacak sumbernya, dan seringkali dilakukan oleh pihak yang tidak tercatat sebagai pelaksana kampanye resmi.
“Bawaslu akan melihat secara menyeluruh: siapa yang memproduksi, apa isi pesannya, kapan diunggah, dan apakah ada afiliasi dengan peserta pemilu. Jadi tidak bisa langsung dinyatakan pelanggaran tanpa proses penelusuran dan klarifikasi,” ujarnya.
Diskusi juga menyentuh soal bagaimana Bawaslu mendorong literasi digital di masyarakat, terutama di kalangan pemilih muda, agar lebih kritis terhadap konten politik di media sosial. Bu Wiwin mengapresiasi langkah Nur Elmi yang membawa isu ini ke ranah akademik, karena menurutnya kajian seperti ini sangat relevan dan mendukung tugas pengawasan.
“Kita tidak bisa melarang media sosial, tapi kita bisa memperkuat kesadaran publik tentang mana yang kampanye sehat dan mana yang manipulatif. Kajian seperti ini penting untuk membangun demokrasi digital yang etis,” tutup Bu Wiwin.
Wawancara ini menunjukkan peran aktif mahasiswa dalam mengawal demokrasi melalui jalur akademik. Dengan menggali langsung ke narasumber utama di lembaga pengawas pemilu, Nur Elmi memperlihatkan bahwa pendekatan ilmiah juga bisa menjadi alat kontrol publik yang berdaya.